“Rakhkhasha Rasulullah li al-hubla al-lati takhafu ‘ala nafsiha ‘an tufthira wa li al-murdhi’i al-lati takhafu ‘ala waladiha.”
Rasulullah saw. memberikan keringanan kepada wanita hamil yang mengkhawatirkan keselematan dirinya untuk membatalkan puasanya, juga wanita yang menyusui yang mengkhawatirkan anaknya [boleh membatalkan puasanya] (H.r. Ibn Majah – 1668)
Dalam hal ini, ulama’ berbeda
pendapat:
1- Jika wanita hamil dan menyusui
tersebut membatalkan puasanya, mereka wajib mengganti puasanya, dan membayar
fidyah. Ini pendapat at-TsSufyan auri, Malik, as-Syafii dan Ahmad bin Hanbal.
2- Jika mereka membatalkan
puasanya, dan membayar fidyah, maka tidak wajib mengganti puasanya. Sebaliknya,
jika mereka telah mengganti puasanya, maka tidak wajib membayar fidyah. Ini
pendapat Ishaq, al-Hasan al-Bashri, ‘Atha’, ad-Dhahak, an-Nakha’i, al-Auza’i,
Ikrimah, Rabi’ah, dan ahl ra’yi.
3- Wanita hamil dan menyusui
disamakan dengan orang sakit, sehingga wajib mengganti puasanya, dan tidak
wajib membayar fidyah. Ini merupakan pendapat Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, dan Ibn
al-Mundzir.
4- Wanita hamil dibedakan dengan
wanita menyusui. Bagi wanita hamil, sama dengan orang sakit, sehingga wajib
mengganti puasanya, dan tidak wajib membayar fidyah. Sedangkan wanita menyusui,
jika membatalkan puasanya, dia wajib mengganti puasanya, dan membayar fidyah.
Ini pendapat Malik.
5- Sedangkan Imam as-Syafii dan
Ahmad, memilah alasan wanita hamil dan menyusui saat membatalkan puasanya. Jika
alasannya karena mengkhawatirkan dirinya sendiri, atau mengkhawatirkan diri
sekaligus anaknya, dia boleh membatalkan puasanya, dan wajib menggantinya. Jika
mengkhawatirkan anaknya saja, mereka wajib mengganti puasanya, dan membayar
fidyah.
Inilah ketentuan dasar terkait
dengan boleh dan tidaknya wanita hamil dan menyusui membatalkan puasanya,
dengan konsekuensi mengganti puasanya dan membayar fidyah. Puasa yang diganti
sebanyak hari yang telah ditinggalkan. Sedangkan fidyah yang dibayarkan sebesar
1 Mud per hari. 1 Mud itu sendiri sama dengan 544 gram beras.
Hanya saja, pendapat yang paling
kuat berdasarkan dalil di atas adalah pendapat yang menyatakan, bahwa wanita
hamil dan menyusui sama-sama boleh membatalkan puasanya, dengan kewajiban
mengganti puasanya, tanpa harus membayar fidyah. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi.
Dalam hal ini, pendapat inilah yang paling kuat.
Sedangkan pendapat yang menyatakan,
bahwa mereka tidak perlu mengganti puasanya, adalah pendapat yang tidak bisa
digunakan. Sebagaimana pendapat yang menyatakan, bahwa mereka yang membatalkan
puasanya, wajib mengganti puasanya dan membayar fidyah juga tidak ada dasarnya.
Sumber : KH. Hafidz Abdurrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar