pertama, mengharamkan. Ini pendapat jumhur (mayoritas) ulama, yaitu mazhab Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dalilnya, hadits Ibnu Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda,
”Janganlah wanita haid dan orang junub membaca sesuatu dari Al Qur`an.” (laa taqra`ul haa`idhu wa laa al junubu syai`an minal qur`an) (HR Tirmidzi no 131; Ibnu Majah no 596).
Kedua, membolehkan (tapi tanpa menyentuh mushaf Al Quran). Ini pendapat mazhab Maliki dan Zahiri. Dalilnya karena hadits Ibnu Umar RA di atas yang dijadikan dalil pengharaman oleh jumhur ulama, dinilai sebagai hadits dhaif (lemah).
Imam Syaukani dalam Nailul Authar
menjelaskan sebagian ulama seperti Imam Bukhari dan Imam Baihaqi mendhaifkan
hadits Ibnu Umar tersebut. Karena dalam sanadnya ada perawi bernama Isma’il bin
‘Ayyasy yang riwayat-riwayat haditsnya dari ulama Hijaz dinilai lemah, dan
hadits Ibnu Umar ini adalah salah satunya. (Imam Syaukani, Nailul Authar,
1/187).
Di samping dalil itu, dalil lainnya
adalah karena Nabi SAW selalu membaca Al Qur`an dalam segala keadaan kecuali
dalam keadaan junub. Dari ‘Ali bin Abi Thalib RA, bahwasanya,
”Tidaklah
menghalangi beliau (Nabi SAW) sesuatu dari Al Qur`an selain junub.” (HR Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasa`i, Ibnu Majah, hadits shahih).
(Imam Nawawi, Al Majmu’,
2/185; Qadhi Shafad, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm. 23; Ahmad Salim
Malham, Faidhur Rahman fi Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Al Khashash bi Al Qur`an,
hlm. 78; Imam Syaukani, Nailul Authar, 1/187-188).
Jadi, yang menjadi sumber utama
ikhtilaf adalah penilaian terhadap hadits Ibnu Umar di atas. Sebagian ulama
seperti Imam Bukhari dan Imam Baihaqi menilai hadits itu dhaif sehingga
berpendapat perempuan haid boleh membaca Al Qur`an. Sedang sebagian ulama
lainnya seperti Imam Syaukani dan Imam Al Mundziri tidak menilainya sebagai
hadits dhaif, tapi hadits hasan, sehingga mengharamkan perempuan haid membaca
Al Qur`an. (Ahmad Salim Malham, ibid, hlm. 97).
Pendapat yang lebih kuat (rajih)
adalah pendapat jumhur ulama yang mengharamkan perempuan haid membaca Al
Qur`an, karena 2 (dua) alasan pentarjihan sbb;
Pertama,
Hadits Ibnu Umar RA di
atas lebih tepat dihukumi sebagai hadits hasan, bukan hadits dhaif. Karena
Isma’il bin ‘Ayyasy sebenarnya adalah periwayat hadits yang tsiqah, yakni
memiliki sifat ‘adalah (bukan fasik) dan dhabith (kuat hapalan), sehingga
haditsnya layak dijadikan hujah.
Imam Syaukani dalam kitabnya As Sailul Jarar
berkata,”Penilaian lemah terhadap Ismail bin ‘Ayyasy tertolak, karena haditsnya
diriwayatkan juga melalui jalan periwayatan lainnya, dan dia (Ismail bin
‘Ayyasy) juga tidak dapat dinilai cacat yang mengakibatkan haditsnya tidak
layak menjadi hujah.” (Imam Syaukani, As Sailul Jarar, hlm. 68).
Imam Al
Mundziri berkata,”Hadits Ibnu Umar ini adalah hadits hasan. Isma’il bin ‘Ayyasy
memang telah diperbincangkan oleh para ulama, namun sejumlah imam telah memuji dia
[menganggapnya tsiqah].” (Imam Ramli, Nihayatul Muhtaj, 1/220-221).
Syekh Ahmad
Muhammad Syakir dalam tahqiq-nya terhadap Sunan Tirmidzi berkata,” Ismail bin
‘Ayyasy adalah periwayat hadits yang tsiqah...” (Ahmad Muhammad Syakir, Sunan
At Tirmidzi bi-tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, 1/237-238). (Lihat : Ahmad Salim
Malham, Faidhur Rahman fi Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Al Khashash bi Al Qur`an,
hlm. 92-93).
Kedua
Keharaman perempuan haid
membaca Al Qur`an dapat juga didasarkan pada hadits lain, yaitu hadits dari Ali
bin Abi Thalib RA di atas yang statusnya shahih yang mengharamkan orang junub
membaca Al Quran.
Setelah menyebutkan hadits tersebut, Imam Ibnu Qudamah
berkata,”Jika telah terbukti hal ini (keharaman membaca Al Quran) bagi orang
junub, maka keharamannya bagi perempuan haid lebih utama, karena hadatsnya
perempuan haid lebih kuat... sehingga hukum untuk orang junub sama dengan hukum
untuk perempuan haid.” (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 1/193).
Kesimpulannya,
Perempuan yang
sedang haid haram membaca Al Quran. Hanya saja jika tak diniatkan membaca, tapi
diniatkan untuk berdzikir atau berdoa, hukumnya boleh. Misalnya membaca
basmalah saat hendak makan, atau membaca hamdalah setelah makan, dan
sebagainya. (Imam Nawawi, Al Majmu’, 2/163). Wallahu a’lam.
KH. Hafidz Abdurrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar