Sabda Rasululullah SAW, “Akan datang kepada umat ini suatu masa nanti ketika orang-orang menghalalkan riba dengan alasan: aspek perdagangan” (HR Ibnu Bathah, dari Al ‘Auzai).
Tanya:
Saya saat ini bekerja pada salah satu bank swasta nasional
(konvesional). Total masa kerja saya ± 14 tahun di bidang perbankan (merskipun
bukan pada satu institusi). Pada suatu malam di bulan Ramadhan 1427 yang lalu
saya mengikuti ceramah tarawih dengan materi tentang Ekonomi syariah. Sejak itu
sampai sekarang saya selalu gelisah apabila mengingat salah satu inti ceramah
itu yang menyebutkan bhwa bunga Bank adalah termasuk Riba yang dilarang oleh
Allah swt.
Saya saat ini telah berencana untuk berpindah pekerjaan ke sektor
non perbankan karena saya takut apabila bunga Bank benar termasuk Riba, maka
alangklah dosanya saya karena selama ini telah memberikan kepada istri anak dan
keluarga saya rezeki yang tidak halal meskipun setiap kali berangkat bekerja
saya selalu meniatkan beribdah memenuhi kewajiban saya sebagai keluarga untuk
mencari rezeki yang halalan thoyiban.
Billahi taufiq wal hidayah.
Wassalamu’alaikum wr. wb
Yon (xxx@yahoo.com)
Jawab :
BUNGA BANK ADALAH RIBA
Oleh : Ir. Muhammad Ismail Yusanto, M
Riba dan Yahudi dalam Tinjauan Sejarah
Sejak dahulu, Allah SWT telah mengharamkan riba. Keharamannya
adalah abadi dan tidak boleh diubah sampai Hari Kiamat. Bahkan hukum ini telah
ditegaskan dalam syariat Nabi Musa as, Isa as, sampai pada masa Nabi Muhammad
saw. Tentang hal tersebut, Al Qur-aan telah mengabarkan tentang tingkah laku
kaum Yahudi yang dihukum Allah SWT akibat tindakan kejam dan amoral mereka,
termasuk di dalamnya perbuatan memakan harta riba. Firman Allah SWT:
5Où=ÝàÎ6sù z`ÏiB úïÏ%©!$# (#rß$yd $oYøB§ym öNÍkön=tã BM»t7ÍhsÛ ôM¯=Ïmé& öNçlm; öNÏdÏd|ÁÎ/ur `tã È@Î6y «!$# #ZÏWx. ÇÊÏÉÈ
ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ 4 $tRôtGôãr&ur tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#xtã $VJÏ9r&
160. Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
161. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS.An-nisa 161-161)
161. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS.An-nisa 161-161)
Dalam
sejarahnya, orang Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu berusaha dengan segala
cara menghalangi manusia untuk tidak melaksanakan syariat Allah SWT. Mereka
membunuh para nabi, berusaha mengubah bentuk dan isi Taurat dan Injil, serta
menghalalkan apa saja yang telah diharamkan Allah SWT, misalnya menghalalkan
hubungan seksual antara anak dengan ayah, membolehkan adanya praktek sihir,
menghalalkan riba sehingga terkenallah dari dahulu sampai sekarang bahwa
antara Yahudi dengan perbuatan riba adalah susah dipisahkan. Tentang eratnya
antara riba dengan gerak kehidupan kaum Yahudi, kita dapat mengetahuinya di
dalam kitab suci mereka:
“Jikalau kamu memberikan pinjaman uang kepada umatku, yaitu
kepada orang-orang miskin yang ada di antara kamu, maka janganlah kamu
menjadikan baginya sebagai orang penagih hutang yang keras, dan janganlah mengambil
bunga daripadanya” (Keluaran, 22:25).
Dalam kitab Imamat (orang Lewi), tersebut pula larangan yang
senada. Pada kitab tersebut disebutkan agar orang-orang Yahudi tidak mengambil
riba dari kalangan kaumnya sendiri:
“Maka jikalau saudaramu telah menjadi miskin dan tangannya gemetar
besertamu ….., maka janganlah kamu mengambil daripadanya bunga dan laba yang
terlalu (besar)…… jangan kamu memberikan uangmu kepadanya dengan memakai bunga
…..” (Imamat 35-37).
Jelaslah di dalam ayat-ayat tersebut bahwa orang-orang Yahudi
telah dilarang memakan riba (bunga). Namun dalam kenyataannya, mereka
membangkang dan mengabaikan larangan tersebut. Mengapa mereka demikian berani
melanggar ketentuan hukum Taurat itu? Dalam hal ini, Buya Hamka (alm) mengutip
dari buku Taurat pada kitab Ulangan pasal 23 ayat 20 :
“Maka dari bangsa lain, kamu boleh mengambil bunga (riba). Tetapi
dari saudaramu, maka tidak boleh kamu mengambilnya supaya diberkahi Tuhan
Allahmu, agar kamu dalam segala perkara tanganmu mampu memegang negeri,
(seperti) yang kamu tuju (cita-citakan) sekarang adalah hendaklah (kamu)
mengambilnya sebagai bagian dari harta pusakamu”.
Berdasarkan kutipan di atas, Buya Hamka menarik kesimpulan bahwa
ayat tersebut telah menjadi pegangan kaum Yahudi sedunia sampai sekarang.
Mereka, biarpun tidak duduk pada kursi pemerintahan di suatu negeri, tetapi
merekalah yang justru menguasai pemerintahan negeri tersebut melalui bentuk
pinjaman ribawi (membungakan uangnya) yang menjerat leher.
Dalam sebuah penggalan naskah Protokolat, yaitu berupa strategi
jahat Yahudi, disebutkan bahwa kebangkrutan berbagai negara di bidang ekonomi
adalah hasil kreasi gemilang mereka, misalnya dengan kredit (pinjaman) yang
menjerat leher negara non-Yahudi yang makin lama makin terasa sakit. Mereka
katakan bahwa bantuan luar negeri yang telah dilakukan boleh dikatakan laksana
seonggok benalu yang mencerap habis segenap potensi perekonomian negara
tersebut.
Memang dalam kenyataannya pada masa sekarang, orang-orang Yahudi
telah berhasil menguasai sistem moneter internasional, khususnya dalam bidang
perbankan. Misalnya, penguasaan mereka terhadap pusat keuangan di Wallstreet
(New York). Tempat ini merupakan pangsa bursa (uang) terbesar di dunia.
Sirkulasi keuangan di Amerika Serikat telah dikuasai oleh orang-orang Yahudi
sejak awal abad XX sampai sekarang.
Di samping itu, mereka juga menguasai bidang-bidang industri (yang
umumnya dibutuhkan oleh orang banyak), perdagangan internasional (dalam bentuk
perusahaan-perusahaan raksasa), yang tersebar di seluruh Amerika, Eropa dan
negeri-negeri di Asia dan Afrika. Sebagai misal, di Amerika, orang-orang
Yahudi menguasai perusahaan General Electric, Fairstone, Standard Oil, Texas
dan Mobil Oil. Dalam perdagangan valuta asing, maka setiap 10 orang broker,
sembilan di antaranya adalah orang-orang yahudi.
Di Perancis, sebagian saham yang tersebar di berbagai bidang
kehidupan adalah milik orang-orang Yahudi. Dalam menghancurkan moral di suatu
negeri, orang-orang Yahudi dan antek-anteknya ikut andil; misalnya mengelola
usaha Kasino, Nigth Club, atau perdagangan obat bius.
Umat Islam Indonesia dan Perbankan
Sistem perbankan telah muncul di dunia Islam sejak kedatangan
penjajah Barat menyerbu ke berbagai negeri Islam. Di negeri-negeri jajahannya,
mereka menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme yang bertumpu kepada sistem
perbankan (riba).
Di Indonesia muncul bank pertama, yaitu Bank Priyayi, tahun 1846
di Purwokerto, dengan pendirinya Raden Bei Patih Aria Wiryaatmaja dari
kalangan keraton. Kemudian secara meluas di berbagai daerah, berdiri Bank
Rakyat (Volksbank); antara lain di Garut (1898), Sumatera Barat (1899), dan
Menado (1899).
Dalam menanamkan sistem perbankan ini, penjajah Belanda
mendirikan Sentral Kas, tahun 1912, yang berfungsi sebagai pusat keuangan. Dari
kalangan intelektual, didirikanlah Indonesische Studie Club di Surabaya tahun
1929. Kemudian Belanda, dalam menyuburkan sistem riba, mendirikan Algemene
Volkscredit Bank (AVB) tahun 1934.
Pada tahun-tahun pertama setelah terusirnya pejajah Belanda dari
Indonesia, didirikanlah Yayasan Pusat Bank Indonesia tahun 1945, yang menjadi
cikal bakal Bank Indonesia sekaligus memberikan rekomendasi pendirian
bank-bank yang ada. Melalui PP No.1, tahun 1946, lahirlah Bank Rakyat
Indonesia (BRI). Pada tahun yang sama, menyusul berdirinya Bank Negara
Indonesia (BNI) 1946. Kemudian jumlah bank semakin bertambah banyak. Di
antaranya Bank Industri Negara (BIN, 1952), Bank Bumi Daya (BBD, 19 Agustus
1959). Bank Pembangunan Industri (BPI, 1960), Bank Dagang Negara (BDN, 2 April
1960), Bank Export-Import Indonesia (Bank Exim) yang dinasionalisasikan pada 30
Nopember 1960. Pada tahun-tahun berikutnya sampai sekarang, dunia perbankan
tumbuh seperti jamur di musim hujan.
Secara garis besar, dunia perbankan di Indonesia didominasi oleh
bank-bank yang menjadi Badan Usaha Milik Negara/BUMN (misalnya BNI 1946, BRI,
BDN) dan bank-bank milik swasta. Untuk yang pertama, jumlahnya tidak terlalu banyak.
Tetapi untuk yang kedua, ia terbagi ke dalam tiga kategori; yaitu swasta asli
Indonesia (misalnya Bank Susila Bakti, Bank Arta Pusara, Bank Umum Majapahit),
swasta merger bank luar (misalnya Lippo Bank, BCA, Bank Summa), dan bank luar
tulen (misalnya Chase Manhattan, Deutsche Bank, Hongkong Bank, Bank of
America).
Untuk melihat perkembangan perbankan di Indonesia, saat ini telah
dibangun sejumlah 2652 bank (tidak termasuk BRI dan BRI Unit Desanya). Menurut
standard Amerika ditilik dari jumlah penduduk Indonesia, maka negeri ini
masih memerlukan 7800 bank lagi.
Sistem Perbankan dan Organisasi Keagamaan
Sebelum tahun 1990-an umat Islam Indonesia belum terlibat langsung.
Sistem ini sejak dahulu hanya diminati oleh kalangan konglomerat. Namun sejak
diadakan penandatangan kerja sama antara Bank Summa dengan Organisasi
keagamaan NU tanggal 2 Juni 1990, maka umat Islam Indonesia telah mulai
dilibatkan langsung dalam praktek perbankan. Dalam perjanjian kerjasama
tersebut telah disepakati untuk didirikan sebanyak 2000 buah Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) di seluruh Indonesia. Namun sebelumnya BPR telah berdiri tanggal
25 Februari 1990. BPR ini memberikan pinjaman kredit sebesar antara 100.000
sampai 500.000 rupiah dengan bunga 2,25% per bulan, untuk pengusaha /pedagang
kecil, petani, dan untuk umum kredit tersebut berkisar antara 25 sampai 200
juta rupiah.
Rencana NU untuk mendirikan BPR sesungguhnya bukan masalah baru
lagi. Ide itu telah ada dan dibahas berulang-ulang dalam berbagai kesempatan
kongres besar NU. Pada awalnya NU mengharamkannya; kemudian memberikan
alternatif fatwa yaitu haram, halal dan subhat; dan terakhir tanggal 22 Juli
1990, NU melalui Abdurrahman Wahid sebagai PB NU telah menghalalkannya.
Fatwa NU ini lalu diikuti oleh Muhammadiyah melalui AS Projokusumo
(sebagai PB Muhammadiyah). Alasan yang dikemukannya adalah karena fatwa
tersebut diputuskan melalui perdebatan para ulama yang dikenal telah mendalami
masalah-masalah hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia, melalui KH Hasan Basri,
menyambut baik keputusan NU ini. Menurut beliau, keputusan tersebut dikeluarkan
atas dasar musyawarah para ulama yang memahami hukum Islam.
Fatwa ini menimbulkan reaksi antara yang pro dan kontra di kalangan
ulama dan intelektual Muslim. Dari kubu yang tidak setuju, muncullah pernyataan
dari Dekan Fakultas Syariah IAIN Jakarta, Dr Peunoh Daly. Ia berkata bahwa
bank yang dibentuk oleh NU maupun Muhammadiyah seharusnya bank yang Islami,
bukan bank yang hanya menjadi alat untuk pemerataan riba. Beliau menandaskan
bahwa sampai sekarang belumlah ada bank yang bersifat Islami di Indonesia. Ia
merasa heran mengapa sistem muamalah yang telah diatur oleh Islam, yaitu sistem
muamalah mudlarabah, qiradh dan salam itu tidak dihidupkan. “Akibatnya, umat
Islam terjerat ke dalam sistem bank yang mengandung riba”, celanya.
Di kalangan NU sendiri, ternyata ada suara yang tidak puas atas
fatwa ini. Kalangan fungsionaris Syuriah PB NU, misalnya, menilai bahwa fatwa
tersebut tidak sejalan dengan garis kebijakan mereka. Sebab, menurut mereka, NU
seharusnya membentuk bank muamalah mudlarabah (berdagang bersama yang saling
menguntungkan), bukan bank umum yang lebih cenderung menganut sistem rente.
Bagaimana silang pendapat di kalangan intelektual dan ulama
modernis di negeri ini? Sesuaikah pendapat mereka dengan ketentuan syara’?
Dapatkah pendapat mereka diterima? Lebih jauh dari itu, apakah mereka boleh
disebut mujtahid atau lebih baik disebut sebagai muqallid?
Pendapat Intelektual dan Ulama Modernis
Di antara pekerjaan yang dikelola bank, maka yang menjadi topik
permasalahan dalam Fikih Islam adalah soal bunga (rente) bank. Sebab, secara
umum tujuan usaha bank adalah untuk memperoleh keuntungan dari perdagangan kredit.
Bank memberikan kredit kepada orang luar dengan memungut bunga melalui
pembayaran kredit (yang jumlahnya lebih besar dari besarnya kredit). Selisih
pembayaran yang biasanya disebut bunga, itulah yang menjadi keuntungan usaha
bank.
Dalam masalah ini, para intelektual dan ulama modernis mempunyai
pendapat yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang mereka. Ada
segolongan dari mereka yang mengharamkannya karena bunga bank tersebut
dipandang sebagai riba. Tetapi segolongan lainnya menghalalkannya.
Ke dalam kubu pertama (yang mengharamkan bunga bank), tersebutlah
Mahmud Abu Saud (Mantan Penasehat Bank Pakistan), berpendapat bahwa segala
bentuk rente (bank) yang terkenal dalam sistem perekonomian sekarang ini
adalah riba. Lalu kita juga mendengar pendapat Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar
Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Cairo yang memandang bahwa riba
Nasi’ah sudah jelas keharamannya dalam Al Qur-aan. Akan tetapi banyak orang
yang tertarik kepada sistem perekonomian orang Yahudi yang saat ini menguasai
perekonomian dunia. Mereka memandang bahwa sistem riba itu kini bersifat darurat
yang tidak mungkin dapat dielakkan. Lantas mereka mena’wilkan dan membahas
makna riba. Padahal sudah jelas bahwa makna riba itu adalah riba yang dilakukan
oleh semua bank yang ada dewasa ini, dan tidak ada keraguan lagi tentang
keharamannya. Buya Hamka secara sederhana memberikan batasan bahwa arti riba
adalah tambahan. Maka, apakah ia tambahan lipat-ganda, atau tambahan 10 menjadi
11, atau tambahan 6% atau tambahan 10%, dan sebagainya, tidak dapat tidak tentulah
terhitung riba juga. Oleh karena itu, susahlah buat tidak mengatakan bahwa
meminjam uang dari bank dengan rente sekian adalah riba. (Dengan demikian)
menyimpan dengan bunga sekian (deposito) artinya makan riba juga.
Ke dalam kubu kedua (yang menghalalkan bunga bank), peminatnya
kebanyakan berasal dari kalangan intelektual dan ulama modernis. Mereka memandang
bahwa bunga bank yang berlaku sekarang ini dalam batas-batas yang wajar,
tidaklah dapat dipandang haram. Tersebutlah A. Hasan, salah seorang pemuka
Persatuan Islam (Persis), yang mengemukakan bahwa riba yang sudah tentu
haramnya itu ialah yang sifatnya berganda dan yang membawa (menyebabkan) ia
berganda. Menurut beliau, riba yang sedikit dan yang tidak membawa kepada
berganda, maka itu boleh. Ia menambahkan bahwa riba yang tidak haram adalah
riba yang tidak mahal (besar) dan yang berupa pinjaman untuk tujuan berdagang,
bertani, berusaha, pertukangan dan sebagainya, yakni yang bersifat produktif.
Drs Syarbini Harahap berpendapat bahwa bunga konsumtif yang
dipungut oleh bank tidaklah sama dengan riba. Karena, menurutnya, di sana tidak
terdapat unsur penganiayaan. Adapun jika bunga konsumtif itu dipungut oleh
lintah darat, maka ia dapat dipandang sebagai riba. Sebab, praktek tersebut
memberikan kemungkinan adanya penganiayaan dan unsur pemerasan antarsesama
warga masyarakat, mengingat bahwa lintah darat hanya mengejar keuntungan
untuk dirinya sendiri. Adapun jika bunga tersebut dipungut dari orang yang
meminjam untuk tujuan-tujuan yang produktif seperti untuk perniagaan, asalkan
saja tidak ada dalam teknis pemungutan tersebut unsur paksaan atau pemerasan,
maka tidaklah salah dan tidak ada keharaman padanya.
Pernyataan Syarbini Harahap ini dalam perkembangan selanjutnya,
ternyata sama nadanya dengan apa yang difatwakan NU via Abdurrahman wahid,
atau lewat pernyataan Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Hatta, Kasman Singodimejo,
dan lain-lain.
Bertolak dari alasan bahwa transaksi kredit merupakan kegiatan
perdagangan dengan uang sebagai komoditi, Dawan Rahardjo, mengatakan bahwa
kalau transaksi kredit dilakukan dengan prinsip perdagangan (tijarah), maka
hal tersebut dihalalkan. Riba yang tingkat bunganya berlipat ganda dan
diharamkan itu perlu digantikan dengan mekanisme perdagangan yang dihalalkan.
Berbagai pendapat dan fatwa yang berani tersebut dalam upaya
menghalalkan riba dalam bentuk bunga bank telah melibatkan jutaan kaum Muslimin
ke dalam kegiatan perbankan. Walaupun demikian masih terdapat jutaan lainnya
yang membenci praktek dan menjauhi dari memakan harta riba. Kebencian mereka
terhadap praktek riba tersebut sama halnya dengan kebencian mereka memakan
daging babi. Oleh karena itu masih banyak kalangan kaum Muslimin yang tidak mau
meminjam dan menyimpan uang di bank karena takut terlibat riba, walaupun di
kalangan kaum Muslimin tidak banyak mengerti sejauh mana aspek hukum dan
kegiatan perbankan, serta banyak pula di antara mereka yang bingung terhadap
hukum yang sebenarnya tentang riba (bunga) bank. Itulah fakta tentang keadaan
umat Islam setelah umat ini diragukan dan dikaburkan pengertian mereka terhadap
riba (bunga) bank.
Bolehkah Kita Menghalalkan Riba ?
Orang Islam yang awam sekalipun pasti tahu bahwa memakan harta
riba adalah dosa besar. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa memakan
harta riba termasuk dosa yang paling besar setelah dosa syirik, praktek sihir,
membunuh, dan memakan harta anak yatim. Malah dalam sebuah Hadits lainnya
disebutkan bahwa perbuatan riba itu derajatnya 36 kali lebih besar dosanya
dibandingkan dengan dosa berzina. Rasul SAW bersabda :
“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba
lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah
masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).
Oleh karena itu, tidak ada satupun perbuatan yang lebih dilaknat Allah SWT selain riba. Sehingga Allah SWT memberikan peringatan yang keras bahwa orang-orang yang memakan riba akan diperangi (QS Al Baqarah : 279).
Jika pada awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda,
akan tetapi sebelum Rasulullah saw wafat, telah diturunkan yaitu ayat-ayat riba
(QS Al Baqarah dari ayat 278-281) yang menurut asbabun nuzul-nya merupakan
ayat-ayat terakhir dari Al Qur-aan. Dalam
rangkaian ayat-ayat tersebut ditegaskan bahwa riba, baik kecil maupun besar,
berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan sampai Hari Kiamat. Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rangkaian ayat-ayat tersebut,
Allah SWT telah mengharamkan segala jenis riba, termasuklah di antaranya riba
(bunga) bank:
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz
“Mereka
berkata (berpendapat bahwa) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba;
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan telah mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan tersebut dari Rabbnya lalu
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
(dipungut) pada waktu dulu (sebelum datangnya larang ini) dan urusannya
(terserah) Allah. Sedangkan bagi orang-orang yang mengulangi (mengambil riba),
maka orang-orang tersebut adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS
Al Baqarah : 275).
Dalam hal
ini, Ibnu Abbas berkata:
“Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau
meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara
Islam) untuk menasehati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap
membandel, maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya”.
Juga Al Hasan bin Ali dan Ibnu Sirin berkata:
“Demi Allah, orang-orang yang memperjualbelikan mata-uang
(money changer) adalah orang-orang yang memakan riba. Mereka telah diingatkan
dengan ancaman akan diperangi oleh Allah dan RasulNya. Bila ada seorang Imam
yang adil (Kepala Negara Islam), maka si Imam harus memberikan nasehat agar
orang tersebut bertaubat (yaitu meninggalkan riba). Bila orang-orang tersebut
menolak, maka mereka tersebut wajib diperangi”.
Apa sesungguhnya riba itu? Secara
global dapatlah disebutkan bahwa definisi riba adalah :
“Tambahan yang terdapat dalam akad yang berasal dari salah satu
pihak, baik dari segi (perolehan) uang, materi/barang, dan atau waktu, tanpa
ada usaha dari pihak yang menerima tambahan tersebut”.
Definisi ini kiranya mampu mencakup semua jenis dan bentuk riba,
baik yang pernah ada pada masa jahiliyah (riba Fadhal, riba Nasi’ah, riba Al
Qardh), maupun riba yang ada pada masa sekarang ini, seperti riba bank yang
mencakup bunga dari pinjaman kredit, investasi deposito, jual-beli saham dan
surat berharga lainnya, dan atau riba jual-beli barang dan uang. Untuk riba
yang terakhir ini contohnya banyak dan dapat berkembang pada setiap masa.
Berdasarkan definisi ini, maka walaupun nama dan jenisnya berbeda
namun riba dapat mencakup banyak macam yang kiranya melebihi 73 macam menurut
keterangan dari Hadits Rasulullah saw. Rasulullah saw melalui penglihatan ghaib
yang bersandarkan kepada wahyu, telah mengetahui bahwa suatu saat nanti umat
Islam akan menghalalkan riba dengan alasan perdagangan (bisnis), seperti yang
tertera pada hadits pembuka tulisan ini. Lebih dari itu, beliau telah
diberitahukan bahwa riba pada masa yang akan datang (misalnya zaman sekarang
dan seterusnya) akan meliputi berbagai aktivitas bidang kehidupan ekonomi dan
keuangan yang akhirnya akan melibatkan seluruh kaum Muslimin. Sabda Rasulullah
saw:
“Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan
(dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai)
ibu kandungnya sendiri…” (HR Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al Hakim, Jilid II
halaman 37; dari Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang shahih).
Juga sabda Rasulullah saw:
“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada
seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja
yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya”
(HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu
Hurairah).
Semua dalil di atas menunjukkan bahwa segala bentuk dan jenis riba
adalah haram tanpa melihat lagi apakah riba tersebut telah ada pada masa
jahiliyah atau riba yang muncul pada zaman sekarang. Pengertian ini ditegaskan
pada ayat 275 surat Al Baqarah tersebut isinya bersifat umum, yakni hukumnya
mencakup semua bentuk dan jenis riba; baik yang nyata maupun tersembunyi,
sedikit persentasenya atau berlipat ganda, konsumtif maupun produktif.
Lafazh yang bersifat umum menurut kaidah Ushul Fiqih tidaklah
boleh dibatasi dan disempitkan pengertiannya. Kaidah Ushul itu berbunyi:
“Lafazh umum akan tetap bersifat umum selama tidak terdapat
dalil (syar’iy) yang mentakhsishkannya (yang mengecualikannya)”.
Dalam hal ini tidak terdapat satu ayat maupun hadits yang
menghalalkan sebagian dari bentuk dan jenis riba (misalnya riba produktif),
dan atau hanya mengharamkan sebagian yang lainnya (misalnya riba yang berlipat
ganda, konsumtif, riba lintah darat). Dengan demikian, telah jelas bagi kita
bahwa semua bentuk dan jenis riba adalah haram dan tetap haram sampai Hari
Kiamat. Oleh karena itu, atas dasar apa para intelektual dan ulama modernis
sampai berani menghalalkan riba bunga bank? Mereka telah berani membeda-bedakan
halal-haramnya berdasarkan sifat konsumtif dan produktif, padahal Allah SWT dan
Rasul-Nya tidak pernah membeda-bedakan bentuk dan jenis riba. Tidak ada satupun
illat (sebab ditetapkannya hukum) bagi keharaman riba. Apakah kaum intelektual
dan ulama modernis ingin mengubah hukum Allah SWT dari haram menjadi halal
hanya karena faktor kemaslahatan, semisal untuk pembangunan, mengatasi
kemiskinan; atau karena pada masa sekarang kegiatan perbankan yang
berlandaskan kepada aktivitas riba sudah merajalela dalam masyarakat kaum
Muslimin?
Barangkali kaum intelektual dan ulama modernis tidak takut lagi
kepada ancaman dan siksa dari Allah SWT:
“Bila muncul perzinaan dan berbagai jenis dan bentuk riba di suatu
kampung, maka benar-benar orang sudah mengabaikan (tak perduli) sama sekali
terhadap siksa dari Allah yang akan menimpa mereka (pada suatu saat nanti)” (HR
Thabrani, Al Hakim, dan Ibnu Abbas; Lihat Yusuf An Nabahani, Fath Al Kabir,
Jilid I, halaman 132).
Pendapat dan fatwa yang muncul dari kalangan intelektual dan
ulama modernis sesungguhnya tidak pada tempatnya dan tidak pula memenuhi syarat
bagi orang yang berwenang untuk berijtihad serta tidak layak disebut sebagai
ulama mujtahid. Oleh karena itu mereka tidak berhak mengeluarkan fatwa, apalagi
untuk mengubah hukum Allah SWT dan Rasul-Nya !
Umat Islam diperintahkan untuk menolak setiap fatwa yang tidak
berlandaskan kepada syariat Islam. Kita wajib menolaknya, bahkan wajib dicegah
setiap hukum yang berlandaskan kepada akal dan hawa nafsu. Sebab, manusia tidak
berhak menentukan satu hukumpun. Ia harus tunduk kepada hukum Allah SWT dan
RasulNya semata. Bila kita menaati intelektual dan ulama modernis yang
menghalalkan riba, maka itu sama artinya kita menjadikan mereka sebagai Tuhan
yang disembah. Itulah yang pernah dikatakan oleh Rasulullah saw kepada ‘Adiy
bin Hatim, ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT:
“Mereka mengangkat pendeta-pendeta dan rahib-rahibnya sebagai
Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Mariyam;
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Satu: Tiada Tuhan kecuali
Dia. Maha Suci (Allah SWT) dari yang mereka persekutukan” (QS At Taubah : 31).
Kemudian Adiy bin Hatim berkata :
“Kami tidak menyembah mereka (para Rahib dan Pendeta) itu”.
Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya mereka telah menghalalkan apa yang telah
dahulu diharamkan, mengharamkan apa yang telah dihalalkan, lalu kalian menaati
mereka. Itulah bentuk penyembahan kalian terhadap mereka” (HR Imam Ahmad,
Tirmidzi, Ibnu Jarir, dari ‘Adiy bin Hatim. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I,
halaman 349).
Apakah umat Islam ingin menjadikan ulama seperti di atas sebagai
Tuhan sesembahan yang berhak menentukan halal dan haramnya sesuatu perbuatan?
Ya Allah, kami sudah menyampaikannya. Saksikanlah ! [www.faridm.com
]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar